BINTUNI, Linkpapua.com – Bencana alam seperti banjir yang melanda perkampungan di sejumlah distrik di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, menggerakkan kepedulian pemuda hukum adat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Adat Tujuh Suku Bersatu (KMATSB) untuk mencarikan solusi jangka panjang.
Salah satu upaya yang ditempuh adalah melakukan perlindungan kawasan wilayah adat dari pelaksanaan pembangunan yang tidak berjalan dengan baik melalui dokumen Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
“Kalau wilayah adat ini tidak diproteksi dari dokumen tata kelola ruang, maka pembangunan akan menghancurkan kawasan alam yang selama ini mencegah. Untuk itu, perlu adanya proteksi wilayah adat melalui dokumen RTRW,” kata Ketua KMATSB, Ruben Frasa, dalam Focus Group Discussion (FGD) di Sekretariat Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Tujuh Suku, Distrik Bintuni, Selasa (8/8/2022).
FGD dilaksanakan sekaligus dalam rangka memperingati Hari Adat International ini dengan mengambil tema Percepatan Integrasi Wilayah Adat dalam RTRW sebagai Solusi Teluk Bintuni Bebas Banjir. Sebagai informasi, perjuangan untuk mewujudkan integrasi wilayah adat ke dalam dokumen RTRW saat ini sedang disusun Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Teluk Bintuni.
Narasumber yang dihadirkan, yakni Plt. Kepala Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) Teluk Bintuni, Benoni Tiri, Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Bappelitbangda Teluk Bintuni, Farid Fimbay, serta salah seorang korban banjir, Sandra Kawab, dengan moderator Tantowi Djauhari, wartawan Jurnal Papua.
Sebagai pemateri pertama, Sandra Kawab menyampaikan bahwa sejak 2011 hingga 2022 masyarakat di Kampung Idoor, Distrik Wamesa, sudah menjadi langganan banjir saat musim hujan tiba.
Bahkan, banjir pada Februari hingga Maret 2022 dirasakan lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ketinggian air banjir yang biasanya hanya selutut hingga sedada orang dewasa, pada banjir tahun ini mencapai dua meter.
“Kitong amati dari tahun ke tahun banjir di kampung datang terus dan semakin tinggi. Bahkan tahun ini banjir lebih kencang lagi, sa sendiri menjadi korban karena rumah saya ikut tenggelam. Masyarakat sudah mengusulkan kepada pemerintah daerah untuk melakukan mitigasi banjir ini melalui pembuatan talud, tapi hingga saat ini belum dijawab oleh pemerintah daerah,” tutur Sandra.
Pemerintah daerah, kata dia, dalam hal ini BPBD Teluk Bintuni merespons banjir dengan menurunkan berbagai bahan makanan yang dikirim dalam waktu cepat, mulai mi instan, beras, minyak, hingga gula.
Namun, kata Sandra, tindakan dari BPBD itu tidak menyelesaikan persoalan dalam jangka panjang. Pemberian bahan makanan hanya mengatasi masalah kebutuhan sehari-har, dalam waktu yang sangat singkat.
“Terima kasih atas perhatian dari BPBD yang telah mengirim bahan makanan kepada kami. Tapi, ini bukan solusi mengatasi banjir. Kami ingin bagaimana ada tindakan yang lebih nyata agar daerah kami tidak lagi banjir. Masyarakat lebih merasa tenang dan aman saat turun hujan,” ucap Sandra.
Plt. Kepala BPBD Teluk Bintuni, Benoni Tiri, menyampaikan banjir selama cuaca ekstrem beberapa waktu lalu, bukan hanya dialami masyarakat Kampung Idoor, Distrik Wamesa. Banjir juga melanda di sejumlah kampung di Distrik Tembuni dan Yakora.
Benoni mengakui bahwa bantuan bahan makanan kepada korban banjir, hanya solusi sesaat dalam meringankan penderitaan korban banjir. Sebagai organisasi perangkat daerah (OPD) teknis yang menangani bencana, pihaknya tengah menginventarisasi titik-titik lokasi banjir sekaligus penyebabnya. Mitigasi ini dilakukan untuk menyusun program penanganan banjir secara jangka panjang.
“Dari hasil penelusuran yang kami lakukan, banjir ini terjadi karena adanya penebangan hutan oleh perusahaan di kepala air Tembuni. Temuan ini sudah kami sampaikan ke Pak Bupati (Bupati Teluk Bintuni, Petrus Kasihiw) untuk mendapatkan petunjuk tindak lanjutnya. Tidak bisa kami secara terus-menerus hanya sebagai pengirim mi instan di lokasi yang sama karena bencana yang sama pula,” ungkap Benoni.
Ketua KMATSB, Ruben Frasa, dalam pemaparannya menyampaikan terjadinya penebangan karena tidak adanya proteksi terhadap wilayah hutan adat yang ada di sekitar kampung. Untuk itu, pihaknya berharap agar wilayah hutan adat tersebut diakomodasi dalam RTRW sebagai kawasan yang tidak boleh ada pembangunan.
Selain itu Ruben juga menyampaikan bahwa dalam proses revisi ke depan diharapkan peta wilayah adat yang dimiliki oleh komunitas masyarakat hukum adat, baik peta indikatif maupun peta partisipatif dapat diintegrasikan.
“KMATSB telah berhasil mengumpulkan peta-peta wilayah adat seluas 146.116 hektare dengan total 19 komunitas masyarakat adat,” kata Ruben.
Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Bappelitbangda Teluk Bintuni, Faridl Fimbay, meminta masyarakat menyusun dokumen pemetaan wilayah adat untuk dijadikan bahan acuan dalam penyusunan revisi RTRW yang saat ini sedang dilakukan.
“Kami terbuka untuk masyarakat yang akan memberikan masukan data kepada tim penyusun. Nanti kita bahas bersama untuk memproteksi wilayah adat ini melalui dokumen RTRW. Kalau perlu kita petakan semua wilayah adat ini berdasarkan tujuh suku yang ada di Bintuni,” kata Faridl. (LP5/Red)