MANOKWARI, linkpapua.com – Pembangunan Rumah Kaki Seribu di samping Rumah Tongkonan Toraja tak asal-asalan.
Pembangunan ini bukan juga sebagai pemanis atau pendongkrak daya tarik untuk mendongkrak popularitas. Namun pembangunan dua rumah adat secara berdampingan merupakan pernyataan sikap oleh oleh mereka bahwa akan mendedikasikan diri mereka sebagai saudara.
Hal tersebut tertuang dalam peresmian rumah adat dalam bentuk ritual adat (Singgi’) Pong Barumbun, toko adat yang khusus didatangkan dari Toraja untuk pelaksanaan sakral tersebut.
![](https://linkpapua.com/wp-content/uploads/2025/02/FULICA-hut-pi.jpg)
Secara umum Singgi’ yang disampaikan berbunyi sebagai makna atas berdirinya dua buah rumah adat secara berdampingan, serta konsekwensi adat bagi orang Toraja apabila tidak menjalankan makna yang terkandung didalamnya.
Pada kesempatan itu, pemimpin adat juga mengambil sumpah janji secara adat dari seluruh masyarakat Toraja yang hadir di lokasi peresmian, pemimpin ritual juga menegaskan kepada mereka bahwa sumpah janji tersebut tidak boleh dibatalkan sampai akhir hayat, sebagaimana rumah tongkonan dan rumah kaki seribu yang akan selalu berdiri berdampingan begitu pula persaudaraan harus tetap dijaga selamanya.
Dalam Singgi’ yang disampaikan oleh Pong Barumbun menjelaskan tentang makna dari tiap-tiap unsur pada rumah tongkonan tersebut, selayaknya manusia yang masing-masing anggota badannya mempunyai fungsi dan makna yang berbeda-beda, begitu juga rumah tongkonan bagi masyarakat Toraja.
“Rumah tongkonan juga bagi orang Toraja dapat dimaknai sebagai seorang ibu yang dapat beranak cucu, di daerahnya silsilah tongkonan ada yang disebut sebagai induk tongkonan dan anak tongkonan, setiap anak tongkonan yang akan menggelar sebuah acara harus mendapat meminta izin kepada induknya,” ungkapnya.
Itulah sebabnya, kata dia, tokoh adat yang menjalankan ritual adat Singgi’ rumah tongkonan dan rumah kaki seribu di gunung Soribo beberapa waktu lalu, yang bersangkutan berbicara kepada dua rumah adat ini layaknya sedang berbicara kepada sosok manusia.
Sang ritual juga memberkati kedua rumah adat tersebut dengan harapan agar keduanya senantiasa menjaga cahayanya untuk menerangi tanah Arfak, tanah Manokwari, dan tanah Papua.
“Tondok mellong te Papua, daenan mala’bi’ te Manokwari, tulannang tang pembala’baran” sang ritual yang artinya bahwa Tanah Papua adalah tanah yang indah, dan Manokwari adalah tempat yang diberkati, tempat dimana kamu (Tongkonan) berdiri,” bebernya.
Selanjutnya, kepada rumah kaki seribu, sang ritual juga berprilaku sama terhadap rumah adat kaki seribu, berbicara kepadanya layaknya sedang berhadapan dengan manusia.
“Koeee Tanan rampa’ duka ko talinga duammu sangmane, banua kaki seribu, siambara lamba’moko tongkonan, tanda tasikna kumua ladigente’moko To sangka taran Lolo, to sanglamunan Toni, misa’ kada tapotuo, pantan kada tapomate (Dengarlah wahai saudaraku rumah kaki seribu, berdirila teguh bersama Tongkonan, engkau sudah saya anggap sebagai saudara kandung, bersama kita teguh, bercerai kita runtuh,” jelasnya.
Masih dalam ritual Singgi’, Sang Ritual juga mengingatkan warga Toraja yang ada di Manokwari agar senantiasa menjaga tali persaudaraan yang sudah terikrar melalui dua rumah ada yang berdiri berdampingan, konsekwensi dari ikrar ini adalah tanggung jawab menjaga wibawa dari masing-masing rumah adat ini, senantiasa menjaga cahayanya agar tetap teguh menerangi kota Manokwari dan tanah Papua. (Soetanto)
![](https://linkpapua.com/wp-content/uploads/2025/02/ezgif.com-optimize-3.gif)
![](https://linkpapua.com/wp-content/uploads/2025/02/ezgif.com-optimize-5.gif)
![](https://linkpapua.com/wp-content/uploads/2025/02/ezgif.com-optimize-7.gif)
![](https://linkpapua.com/wp-content/uploads/2025/02/ezgif.com-optimize-4.gif)
![](https://linkpapua.com/wp-content/uploads/2025/02/ezgif.com-optimize-6.gif)