MANOKWARI, Linkpapua.com— DPR Papua Barat (DPRPB) mengusulkan program transmigrasi nasional dihapus di Papua Barat. DPR berpandangan, transmigrasi nasional akan memperlebar ketimpangan sosial di masyarakat.
Hal ini menjadi kesepakatan seluruh fraksi di DPR PB dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar bersama Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Papua Barat, Senin (18/11/2024). RDP juga dihadiri perwakilan BEM Unipa, STIH, dan STKIP Muhammadiyah.
Ketua DPR PB Orgenes Wonggor menegaskan, transmigrasi nasional tak lagi produktif bagi Papua Barat. Jika ada program transmigrasi, sebaiknya yang diprioritaskan adalah transmigrasi lokal.
“Penjelasan Menteri mengenai program transmigrasi sudah jelas. Penolakan terhadap program transmigrasi di Papua Barat dikuatkan oleh adanya Perda Nomor 19 Tahun 2022,” ujarnya.
Rapat tersebut berlangsung dengan diskusi yang panjang, menghasilkan berbagai pandangan dari anggota DPRPB terkait kebijakan transmigrasi, khususnya di wilayah Papua Barat. Secara umum, penolakan terhadap program transmigrasi nasional dilandasi oleh kekhawatiran terhadap dampak negatif yang dapat memengaruhi kehidupan sosial masyarakat setempat.
Salah satu alasan utama penolakan adalah potensi ketimpangan sosial yang timbul akibat masuknya penduduk dari luar daerah. Hal ini dinilai dapat memperburuk kesenjangan sosial dan mengancam kesempatan kerja bagi masyarakat asli Papua.
Selain itu, kekhawatiran terkait dampak sosial dan ekologis juga menjadi pertimbangan penting.
Kelima fraksi di DPRPB, yakni Golkar, PDI Perjuangan, Nasdem Bersatu, Amanat Sejahtera, dan Bangkit Gerakan Indonesia Raya, menilai bahwa program transmigrasi nasional berpotensi mengganggu wilayah adat, merusak keseimbangan sosial, serta meningkatkan tekanan terhadap sumber daya alam yang sudah terbatas. Para politisi tersebut sepakat bahwa fokus sebaiknya dialihkan pada pengembangan dan revitalisasi kawasan transmigrasi yang sudah ada, daripada membuka wilayah baru untuk transmigrasi.
Para fraksi juga menekankan pentingnya kajian yang mendalam dan monitoring secara komprehensif terhadap program transmigrasi lokal, serta evaluasi menyeluruh terhadap kawasan transmigrasi yang sudah ada, seperti di daerah Bintuni yang dinilai masih menghadapi banyak tantangan.
Pengawasan dan evaluasi ini disarankan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan mahasiswa, guna memastikan keberhasilan program tersebut. Revitalisasi kawasan transmigrasi yang sudah ada dianggap sebagai upaya yang lebih efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kawasan transmigrasi dapat diberdayakan sebagai sentra produksi pertanian dan peternakan, yang diharapkan dapat mendukung ketahanan pangan di Papua Barat. Selain itu, pemekaran kampung dinilai sebagai pendekatan yang lebih sesuai untuk mengatasi pertumbuhan penduduk dan memberikan peluang yang lebih besar bagi masyarakat lokal.
Dalam rapat tersebut, Fraksi Nasdem Bersatu mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) guna melakukan kajian lebih mendalam terkait penolakan program transmigrasi. Peraturan Daerah (Perda) dianggap sebagai instrumen penting untuk mengontrol dan mengendalikan arus migrasi.
Provinsi Papua Barat telah memiliki Perda Nomor 19 Tahun 2022 yang berfungsi sebagai pengendali kependudukan, sehingga penerapan program transmigrasi dinilai tidak mendesak dan bahkan dapat mengancam hak-hak masyarakat asli Papua.
Fraksi-fraksi juga mengemukakan pentingnya pengaturan urbanisasi dan kontrol terhadap masuknya penduduk dari luar daerah. Salah satu solusi yang diusulkan adalah penyusunan Perda yang mengatur pembatasan penduduk luar, guna memastikan keberlanjutan sosial dan ekologis di Papua Barat.
Secara keseluruhan, fraksi-fraksi di DPRPB lebih cenderung mendukung transmigrasi lokal sebagai solusi yang lebih selaras dengan kondisi sosial dan ekologis di Papua Barat. Mereka menekankan perlunya perencanaan dan pengawasan yang lebih baik terhadap kawasan transmigrasi yang sudah ada, dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal serta pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.(LP2/Red)