MANOKWARI, linkpapua.com- Pembahasan revisi Perdasus No 3 Tahun 2019 tentang Pembagian Penerimaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Migas berlangsung alot. Dua daerah penghasil migas terbesar, Teluk Bintuni dan Sorong, menuntut jatah lebih.
Bupati Bintuni dan Sorong telah bersurat ke DPR Papua Barat. Mereka meminta agar revisi perdasus memberi bobot pada aturan bagi hasil.
“Dengan memperhatikan surat Bupati Kabupaten Teluk Bintuni Nomor: 188/106/BUP-TB/VI/2021 tertanggal 07 Oktober 2021 dan surat Bupati Sorong Nomor: 188/341/989 tertanggal 08 Oktober 2021 tentang usul revisi Perdasus Nomor 3 Tahun 2019, maka ini menjadi bahan kajian DPR. Sebagai kabupaten penghasil migas, kedua daerah ini menginginkan pembagian presentase yang lebih signifikan,” terang Wakil Ketua Bapemperda DPR Papua Barat, Syamsudin Seknum, saat melaporkan hasil kerja Bapemperda terhadap materi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Barat pada Sidang Paripurna Pertama Masa Sidang III 2021, di Aston Niu Hotel, Kamis (25/11/2021).
Ia menjelaskan, Bintuni dan Sorong menuntut agar mereka mendapat jatah bagi hasil lebih besar. Dengan alasan keduanya adalah penghasil migas utama di Papua Barat.
“Mereka menuntut presentase lebih dari kabupaten/kota non penghasil. Agar diatur pembagian presentasenya secara proporsional. Termasuk pembagian dengan provinsi,” papar Seknum.
Bapemperda sendiri telah melakukan pembahasan terhadap 16 (enam belas) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. Di antaranya 13 (tiga belas) Raperdasi berasal dari pemerintah Provinsi Papua Barat dan 3 (tiga) Raperdasus merupakan usulan inisiatif DPR.
Menurut Karel, dari 16 raperdasi dan raperdasus, yang sudah dibahas oleh legislatif bersama eksekutif sebanyak 13 rancangan.
Ke-13 raperda itu adalah Rancangan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat, dan Rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Tentang Komisi Hukum Adhock.
Selanjutnya Rancangan Peraturan Daerah Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Papua Barat, Rancangan Peraturan Daerah Tentang Riset dan Inovasi Daerah,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Tentang Penetapan dan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Mangrove di Wilayah Provinsi Papua Barat, Rancangan Peraturan Daerah Khusus Tentang Usaha-Usaha Perekonomian di Provinsi Papua Barat yang Memanfaatkan Sumber Daya Alam dan Rancangan Peraturan Daerah Khusus Tentang Tata Cara Pemberian Pertimbangan Gubernur Terhadap Perjanjian Internasional,
Lalu Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi Pegawai Honorarium Daerah, Perangkat Kampung dan Badan Musyawarah Kampung, Rancangan Peraturan Daerah Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan Ketenagakerjaan Provinsi Papua Barat, Perubahan atas Peraturan daerah khusus nomor 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pengisian Unsur Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat Melalui Mekanisme Pengangkatan.
Ada 3 raperdasus yang menurut Seknum mengalami perubahan.
“Dari 16 Rancangan raperdasi maupun raperdasus yang disampaikan oleh eksekutif maupun hak inisiatif DPR PB, 13 yang sudah dibahas. Sedangkan 3 raperda masih dalam tahap pembahasan,” katanya.
Ketiganya yakni Raperdasi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) provinsi Papua Barat, Raperdasi tentang Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida), dan Raperdasus tentang Pelaksanaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi Pekerja bukan Penerima Upah Orang Asli Papua di provinsi Papua Barat.
Terkait Raperdasi (RT/RW) sampai saat ini masih menunggu hasil rapat internal tim Tata Ruang Eksekutif Provinsi dan Tim Eksekutif Kota Sorong. Demikian juga dengan Raperdasi tentang Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida) dan Raperdasus tentang Pelaksanaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi Pekerja Bukan Penerima Upah Orang Asli Papua di Provinsi Papua Barat dikembalikan ke pihak eksekutif. Perda ini masih harus mendapat penyempurnaan.
“Kami mohon DPR Papua Barat dapat membahas dan menetapkan 16 (enam belas) raperdasi dan raperdasus dalam sidang paripurna dewan, untuk ditetapkan sebagai perda,” pungkas Seknum. (LP2/red)