MANOKWARI, linkpapua.com – Sebuah video persekusi yang dilakukan oleh ormas terhadap mahasiswa asal Papua di Kupang, NTT, viral di media sosial. Insiden ini
memantik reaksi dari berbagai kalangan di Papua.
Sejumlah kalangan di Papua menilai, persekusi yang dilakukan telah mencederai kehidupan berdemokrasi. Para pelaku persekusi pun diminta segera menyampaikan permohonan maaf kepada warga Papua.
“Selaku Panglima Kesatria Parlemen Jalanan saya mengingatkan kepada oknum dan ormas yang telah melakukan persekusi. Termasuk juga mengingatkan kepala suku dari oknum tersebut, jika ada kepala sukunya di Tanah Papua, kami minta segera berkomunikasi kepada oknum ormas tersebut di daerah administrasi atau kota studi di mana tindakan tak terpuji itu dipertontonkan guna mengklarifikasi sebelum terjadi sekat antarormas dan kelompok di tanah Papua,” kata Ketua Parlemen Jalanan Papua Barat, Ronald Mambieuw Minggu (1/10/2023).
Ronald mengaku sangat kecewa dengan tindakan persekusi terhadap warga Papua di Kupang. Apalagi, para pelaku melontarkan kalimat rasialis yang tidak sepantasnya.
Dalam video yang beredar, tampak seorang pria melontarkan kata-kata yang dinilai mendiskreditkan warga Papua. Video yang beredar di aplikasi Tiktok itu juga tampak si pria yang memakai kameja warna hitam tengah dihalangi oleh sekelompok aparat. Pria yang diduga merupakan oknum ormas itu memaki para demonstran saat menyampaikan pendapat.
“Saya sebagai anak negara, hei kalian angkat kaki dari negara ini, lalu pergi teriak di Papua. Berapa banyak korban dari negara kami, berapa TNI/Polri mati?,” teriak pria itu saat membubarkan aksi demo mahasiwa Papua.
Menurut Ronald, kata-kata itu sangat melukai perasaan mahasiswa dan orang asli Papua pada umumnya.
Di negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, kata Ronald, apa yang dilakukan oleh mahasiswa asal Papua adalah hal yang biasa. Mereka berunjuk rasa sebagaimana diatur dalam konstitusi bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum.
“Saya selaku Panglima Parjal pertanyakan oknum dan organisasi tersebut. Aturan organisasi atau kepmen dan kepres apa yang dipakai oleh ormas tersebut untuk menghalang halangi orang menyampaikan pendapat di muka umum? Mereka mahasiswa itu juga sesama anak Bangsa Indonesia. Apakah karena RAS? Atau apa? Pernyataan dangkal tersebut adalah pernyataan yang harus dipertanggungjawabkan oleh oknum ormas tapi juga sukunya,” kata Ronald.
Ronald menyebut bahwa jumlah OAP di Kupang sangat sedikit dibanding jumlah warga NTT yang ada di Tanah Papua. Mereka bukan saja menuntut ilmu di Papua, tetapi telah berinvestasi dan mencari makan di Papua.
“Kami sudah jaga baik suku lain di Tanah Papua. Bahkan kami juga telah menguras pikiran kami untuk menjaga kedamaian di Papua maka jangan bermain main dengan Papua,” tegasnya. (LP1/red)
.





