MANSEL, Linkpapua.com—Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNTC) melalui Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Yembekiri, telah membentuk 7 kelompok masyarakat binaan.
“Untuk kelompok masyarakat binaan sudah kami bentuk di Senebuai 1 kelompok, Yomakan 3 kelompok, Kaprus satu kelompok dan tahun ini di Wapra sama Hiyop,” kata Kabid Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Yembekiri Hernowo Suprianto saat ditemui di Kantor Cabang BBTNTC di Ransiki, Rabu, (21/6/2023)
Kelompok binaan yang dibentuk untuk ikut berperan meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi BBTNTC. Untuk itu, partisipasi masyarakat binaan ini sangat diharapkan.
“Pembentukan kelompok masyarakat binaan sudah kita mulai sejak 2018 dan setiap tahun kita bentuk di setiap kampung ,” ujarnya.
Pembentukan kelompok binaan, menurut Hernowo, direncanakan pada tahun depan dilakukan di kampung Yaryadi dan Yembekiri. Ia mengataka, keterbatasan anggaran menjadi kendala sehingga pembentukan kelompok binaan tidak bisa langsung dalam jumlah banyak.
Guna mendukung upaya peningkatan kawasan konservasi melalui partisipasi masyarakat, kelompok binaan BBTNTC itu juga mendapatkan bantuan ekonomi dengan jumlah yang relatif terbatas.
“Kita juga berikan bantuan ekonomi walaupun belum besar. Kita harapkan dari pemerintah daerah juga bisa membantu mereka,” ungkapnya.
Kelompok binaan, sebut Hernowo, juga mendapatkan pembinaan dan pendampingan dalam penyusunan rencana tahunan dan 5 tahunan sekaligus dalam rangka evaluasi kinerja.
Di samping itu, BBTNTC juga gencar melakukan pendepatan dengan pihak klasis maupun pemuka agama di daerah-daerah binaan. Langkah itu ditempuh untuk menggugah peran aktif gereja dan tokoh agama dalam membantu sosialisasi ajakan melestarikan kawasan konservasi.
Hernowo mengaku pola pendapatan yang dilakukan cukup efektif dan menunjukkan respon positif dari masyarakat. Komitmen menjaga dan melestarikan kawasan konservasi TNTC mulai tumbuh dan menguat menjadi sebuah kesadaran kolektif masyarakat di kawasan itu.
“Di Senebuai berhasil terbentuk 2 sasi di wilayah adatnya. Di wilayah sasi itu apapun didalamnya tidak boleh untuk diambil. Untuk itu harapan kita ke depan di dua tempat tersebut tetap terjaga ,” ujarnya.
Wilayah sasi dimaksudkan berada di daerah pasir panjang. Di daerah ini selama 3 tahun, masyarakat tidak diperbolehkan mengambil apapun di situ. Sementara sasi berikutnya berada di Werondi.
“Di sebelahnya terdapat pulau kecil, di situ selama 5 tahun tidak diperbolehkan masuk mengambil apapun didalam, baik biota lautnya maupun tumbuhan di daratan,” terangnya.
Pembatasan eksplorasi sumber daya melalui sasi, lanjut Hernowo, akan berlanjut di Juni ini, tepatnya di daerah Windesi. Pihak adat dan gereja bakal terlibat secara bersama dalam kegiatan dimaksud.
“Kita berharap dengan adanya sasi yang sudah ada ini bisa ditiru gereja-gereja lain. Sehingga ada tempat-tempat di kawasan konservasi yang dibatasi secara adat dan agama agar potensi ekosistem kita bisa kembali pulih,” tutupnya. (LP11/Red)