MAKASSAR, LinkPapua.com – Terdakwa kasus pelanggaran HAM Paniai, Isak Sattu divonis bebas majelis halim Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (8/12/2022). Majelis hakim meyakini Isak tak terbukti melakukan pelanggaran HAM.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana dalam dakwaan kesatu dan kedua,” kata Hakim Ketua, Sutisna Sawati dalam persidangan tersebut.
Atas dasar itulah, Majelis Hakim meyakini Isak Sattu pantas dilepaskan dari semua tuntutan. Sebab, Isak dianggap tak terbukti melakukan kejahatan sebagaimana dalam tuntutan Jaksa.
“Membebaskan terdakwa dari semua tuntutan,” ujar Sutisna.
Advokat pendamping terdakwa, Syahrir Cakkari mengatakan bahwa ia dan timnya all out dan sedari awal meyakini pihak yang ia dampingi tak layak dihukum. Sebab tidak akan ada bukti yang memberatkannya. Bahkan perintah dan tindakan sistematis yang berujung penembakan tidak ada.
“Tidak ada perintah dan tindakan sistematis,” ungkap ketua DPC Peradi Makassar tersebut.
Meskipun divonis bebas, majelis hakim sidang kasus pelanggaran HAM berat tersebut tak satu suara mengenai unsur pertanggungjawaban komando yang disematkan kepada Isak. Hakim anggota yang merupakan hakim karier, Abdul Rahman Karim menyatakan, sikap dissenting opinion nde nasamaturu atau pendapat berbeda untuk memutuskan perkara.
Abdul berkeyakinan ada unsur pertanggungjawaban komando dalam kasus Paniai yang menjerat eks Perwira Penghubung (Pabung) Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu.
“Ada unsur atasan bawahan. Atasan tahu ada tindak kejahatan dari bawahannya, tapi atasan gagal menindak atau menyerahkan yang bersangkutan ke aparat yang berwenang,” kata Abdul dalam persidangan sore tersebut
Abdul meyakini Isak secara pidana bertanggung jawab atas pelanggaran hukum anak buahnya yang dipimpin di Koramil Enarotali. Ia menyebut Isak turut bisa dimintai pertanggungjawaban karena tidak melakukan supervisi kepada atasannya.
“Terdakwa sebagai Pabung punya kewenangan cegah penembakan dan kirim laporan ke atasannya untuk ambil langkah-langkah yang seharusnya dilakukan,” kata Abdul.
Terpisah, pihak korban melalui Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, mengecam keras putusan yang ada. Menurut Ketua PAHAM Papua, Gustaf Rudolf Kawer, putusan vonis yang ada menjadi bukti kegagalan negara dalam melindungi hak asasi setiap warganya
“Iya seperti itu negara gagal dalam menegakkan HAM, desain bebas itu sudah ada, ini bukan desain biasa, ini negara. Pelakunya bebas,” ujar Gustaf.
Gustaf mengatakan bahwa tidak ada transparansi dalam proses hukum yang berlangsung. Selain divonis bersalah, semestinya bukan hanya Isak yang diseret ke pengadilan, namun juga berbagai pihak khususnya dari unsur kepolisian dan atasan Ishak di TNI.
“Ada lebih 9 pelaku, Pangdam Papua saat itu masuk, Dandim masuk, Koremnya masuk, seharusnya semua diproses hukum,” tukas Gustaf.
Senada dengan PAHAM Papua, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mengaku kecewa atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Makassar yang menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai.
“Putusan ini tentu memberikan rasa kecewa dan prihatin,” kata Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro kepada awak media
Menurut Komnas HAM, meskipun hakim memvonis bebas Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, namun putusan pengadilan menyebutkan bahwa pelanggaran HAM memang terjadi. Hanya saja, hakim tidak berhasil membuktikan siapa yang harus bertanggung jawab.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai mengatakan lembaga tersebut mencatat dengan baik proses peradilan yang terjadi. Komnas HAM menilai peradilan HAM kasus Paniai suatu jalan untuk memberikan keadilan bagi para korban.
Namun, sayangnya, vonis hakim hari ini seakan memupus harapan yang digantungkan masyarakat terutama para korban. Hal itu juga menimbulkan rasa pesimistis apabila ada proses peradilan yang akan datang.
Tidak hanya itu, selama pemantauan yang dilakukan Komnas HAM pada September hingga Desember 2022, lembaga tersebut juga menemukan adanya sikap tidak transparan sejak proses penyidikan dan penuntutan.
Tersangka dalam kasus tersebut hanya satu orang yaitu Mayor Inf (Purn) Isak Sattu. Artinya, dari awal sudah ada ketidakpercayaan dan rasa kekhawatiran bahwa perkara tersebut tak berjalan sebagaimana yang diharapkan, jelasnya.
“Ada sikap tidak transparan serta tidak melibatkan saksi dan korban,” ujarnya
Untuk diketahui, peristiwa Paniai berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014.
Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei. (LP2/Red)