MANOKWARI, LinkPapua.com – Gempa bumi yang mengguncang Papua Barat menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp4 triliun dan berdampak langsung terhadap 1,29 juta jiwa dalam kurun waktu 2020–2024. Menghadapi kondisi ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Papua Barat tengah memfinalisasi dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) 2025–2029 sebagai langkah strategis untuk menekan risiko bencana yang terus mengancam.
Dokumen RPB dipastikan terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode kedua kepemimpinan Gubernur Dominggus Mandacan dan Wakil Gubernur Mohamad Lakotani (Doamu Jilid II). Penyusunannya dibahas dalam forum diskusi terfokus (FGD) yang digelar di Mansinam Beach Hotel, Manokwari, Selasa (6/5/2025).
Asisten III Setda Papua Barat, Otto Parorongan, mengungkapkan, berdasarkan kajian risiko bencana tahun 2020–2024, Papua Barat menghadapi 13 jenis bencana. Gempa bumi disebut sebagai ancaman terbesar dengan jumlah penduduk terdampak tertinggi dan potensi kerugian paling besar.
“Gempa bumi dengan jumlah penduduk terpapar dan potensi kerugian ekonomi tertinggi, yakni mencapai 1,29 juta jiwa dan terdiri dari Rp4 triliun,” ujarnya.
Selain gempa, sekitar 40 persen wilayah Papua Barat juga rentan terhadap banjir dan longsor, khususnya di Manokwari, Manokwari Selatan, Fakfak, Pegunungan Arfak, Teluk Wondama, dan Teluk Bintuni. Indeks Risiko Bencana (IRBI) Papua Barat 2025 pun masih berada pada kategori sedang hingga tinggi.
Kepala BPBD Papua Barat, Derek Ampnir, menuturkan RPB disusun sebagai dokumen milik bersama yang tidak hanya memetakan risiko, tetapi juga menjadi panduan konkret dalam memitigasi dan menanggulangi bencana.
Menurutnya, Papua Barat memiliki tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Jika tidak diantisipasi, hal ini akan menghambat pembangunan infrastruktur.
“Contohnya, jika ingin bangun ketahanan pangan, maka perlu dilakukan kajian dampak lingkungan atau pengaruh alam terhadap pembangunan tersebut,” katanya.
Lebih lanjut, Derek menerangkan RPB ini menyusun langkah-langkah nyata untuk mengatasi dampak bencana. Dokumen digodok lebih detail dengan melihat semua potensi risiko.
“Kita sudah punya rencana dalam RPB lalu dan dokumen ini digodok lebih detail mengenai resiko-resiko dan rencana penanggulangan,” ucapnya.
FGD ini juga menghadirkan masukan dari berbagai pihak, seperti akademisi, BMKG, hingga tim Basarnas untuk memperkaya isi dokumen. Derek menilai, kolaborasi ini penting demi menyempurnakan strategi penanggulangan bencana di Papua Barat.
“Tentunya semakin banyak dihimpun masukan dan saran akan semakin memperdalam rencana penanggulangan bencana serta mewujudkan tindakan kesadaran dalam melakukan pencegahan,” tuturnya. (LP14/red)




