MANOKWARI, linkpapua.com– Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Domberay menyoroti komitmen pemerintah pusat dalam upaya penyelamatan lingkungan dan penurunan emisi karbon. Anggaran penyelamatan lingkungan disebut tak menyentuh masyatakat adat.
“Akses keterbukaan informasi mengenai dana penurunan emisi karbon dari luar negeri melalui kementerian terkait yang ditujukan ke Papua Barat selama ini tidak disampaikan secara terbuka,” ujar Sekretaris Dewan Adat Papua Wilayah III Domberay, Zakarias Horota dalam diskusi yang digelar di Sekretariat Bentara di kawasan Bumi Marina Manokwari, Rabu Malam (21/8).
Diskusi melibatkan Nukewar Foundation Yayasan Lembaga Bantuan Hukum YLBH (YLBH) Sisar Matiti, Bentara Samdana institut, Dewan Adat Wilayah III Domberay Econusa dan beberapa pemerhati lingkungan serta aktivis lingkungan. Hadir juga kademisi Unipa.
Zakarias mengatakan, masyarakat adat hanya ditugaskan menjaga hutan dan alam mereka dengan doktrin. Tetapi mereka sama sekali tak menerima manfaat materil.
Menurut Zakarias, apa yang ia dapat melalui pertemuan dengan beberapa pihak menunjukan bahwa ada banyak informasi yang selama ini ditutupi oleh pemerintah terhadap masyarakat adat yang punya hutan adat.
“Masyarakat yang memiliki hutan adat selama ini tidak tau mengenai informasi seperti ini, terkait dana-dana punding dari luar negeri yang bisa mereka dapat manfaatnya secara langsung dalam menjaga kawasan hutan,” kata Zakarias.
Saat ini pemerintah Papua Barat membentuk tim kelompok kerja pemanfaatan dana penurunan emisi karbon dari Green Climate Fund (GCF) sebesar 1,5 Juta USD atau setara dengan Rp24,6 miliar.
“Tanah adat ini harus dilindungi oleh masyarakat adat yang memiliki hutan, mereka tau cara menjaganya tetapi mereka tidak tau ada dana dari negara-negara luar untuk itu,” ucap Horota.
Dia menilai bahwa skema yang dibangun selama ini yakni Pemerintah memasukan perusahan-perusahaan kayu untuk merambah hutan milik masyarakat adat, melalui berbagai perizinan. Sedangkan di sisi lain Pemerintah juga mengampanyekan agar tanggung jawab menjaga hutan oleh komunitas masyarakat adat.
“Lalu ketika ada dana punding dari negara luar, pemerintah juga tidak memberikan informasi secara utuh kepada masyarakat pemilik hutan adat di Tanah Papua, terutama di wilayah adat Domberay,” ucapnya.
Dia mengandaikan apabila masyarakat adat mengetahui ada dana punding dari negara luar dalam rangka menjaga hutan atau sebagai insentif karena selama ini hutan di Papua dijaga untuk kepentingan sunia, mestinya masyarakat adat akan sejahtera dan akan bersemangat menjaga hutan dari berbagai macam ancaman kerusakan
“Karena ketidaktahuan masyarakat sehingga yang terjadi selama ini masyarakat adat untuk mengisi kebutuhan ekonomi mereka menebang pohon untuk di jual, memberi izin kepada para penambang emas untuk mengeksplorasi tanah mereka dengan perjanjian membagi hasil,” ucapnya.
Horota menegaskan dalam waktu dekat melalui kelembagaan DAP Wilayah III ia mendorong upaya hukum untuk memantau dan mengawasi pemberian dana penurunan emisi karbon kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat.
“Secepatnya kita akan dorong upaya hukum untuk memastikan pengelolaan dana tersebut benar-benar ditujukan kepada masyarakat adat pemilik tanah, bukan ditujukan ke kelembagaan non pemerintah dengan alasan program,” tegasnya.
Yunus Yumte dari Samdhana Institut menyebut bahwa diskusi yang digelar dengan melibatkan sejumlah pihak dengan semangat bahwa masyarakat adat harus menerima manfaat atas hutan yang mereka miliki.
“Secara regulasi sudah jelas, banyak regulasi berupa peraturan daerah di beberapa Daerah terkait Perda Peraturan Daerah Perda pengakuan perlindungan masyarakat hukum adat (PPMH) seperti di Bintuni, Manokwari Selatan di teluk Wondama, tentang hak masyarakat adat atas hutan,” kata Yunus Yumte.
Diskusi juga membahas soal bagaimana pendanaan melalui perubahan iklim untuk Tanah Papua mendapatkannya.
Yumte menjelaskan, negara Indonesia secara global menjadi bagian dari negara berhutang dan memiliki tutupan hutan terbesar di dunia termasuk beberapa Negara seperti di Kongo Afrika dan Hutan Amazone di Brazil.
“Tiga negara ini merupakan pemain utama yang menjadi negosiasi Internasional terkait hutan, dalam negosiasi Internasional di Paris Pemerintah kita menyampaikan kontribusi nasional yang di tentukan untuk mengurangi emisi dari perubahan tutupan hutan fokus pada pengurangan angka deforestasi dan degradasi hutan,” katanya
Dia menyebut bahwa komitmen negara Indonesia akan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk mencapai kontribusi nasional (Nationally Determined Contribution atau NDCC) Indonesia telah menyampaikan target penurunan emisi ke Konversi kerangka kerja PBB di bidang perubahan iklim, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dengan kemampuan sendiri sebesar 29 persen dan dukungan internasional sebesar 41 persen.
Tahun 2022 ambisi Indonesia terhadap penurunan emisi gas rumah kaca melalui dokumen Endhanced NDC dengan kemampuan sendiri 31,89 persen dan dukungan internasional sebesar 43,20 persen. Di sektor Kehutanan, KLHK telah berkomitmen untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030.
“Banyak sekali yang sudah dilakukan negara salah satunya insiatif dari dana pembiayaan dari negara maupun dari pembiayaan Asing, yang kita bahas soal mekanisme pembiayaan yang diberikan kepada Indonesia atas dasar keberhasilan menurunkan emisi pada periode 2014-2016 yang datang dari lembaga Green Climate Fund (GCF) yang diberikan melalui bpdlh badan pengelola dana lingkungan hidup, ” katanya
Soal mekanisme pembayaran terdapat pada surat edaran kementrian kehutanan yang mengatur tentang pembagian nilai uang yang diterima per Provinsi dan mekanisme penyaluran akses tiap provinsi diatur oleh lembaga-lembaga yang registrasi “jadi urusan kewenangan dan mekanisme penyaluran diatur oleh pemerintah provinsi,” ucapnya.
Dia membeberkan bahwa di BPDLH selain dana RBP ada juga namanya dana Tera jadi banyak mekanisme yang dikembangkan “Kaitan dengan RBP yang kita bahas ini sudah ada sekitar 7 indikasi kegiatan sesuai surat edaran dari pemerintah provinsi, kalau di BPDLH ada beberapa mekanisme yang harus di akses di RBP ini harus ya bisa (kaitan dengan masyarakat adat) ini yang sedang kita bahas karena secara jelas penerima manfaat adalah pemerintah provinsi,” katanya.
Disebutkan bahwa 7 indikasi kegiatan yang dimaksud diantaranya kesatuan pertama pengelola hutan, kedua rehabilitasi hutan dan lahan, ketiga program komunitas untuk iklim (Proklim), keempat pengendalian Karhutla, kelima pengelolaan hutan lestari, ke enam Konservasi dan keanekaragaman hayati serta ke tujuh Arsitektur REDD+ atau reduced emissions from deforestation and forest degradation
Kaitan dengan pengetahuan masyarakat adat mengenai pembiayaan tersebut kata Yunus masyarakat adat praktis belum mengetahui hal ini saat pertemuan. Mungkin ada yang mendengar soal perubahan iklim, atau mungkin ada yang tidak mengetahui secara detail kedalam,” kata Yunus
Dia berharap distribusi dukungan dan impact dari sumber daya yang mengalir terkait perlindungan hutan, kemudian harus ada perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.
“Lalu bagaimana perubahan kesejahteraan dari masyarakat dan ini sebenarnya tantangan karena ini bukan soal nilai uang tapi mekanisme pengelolaan distribusi, kontrol dan supervisi, dari sisi pengelolaan dan ini dilakukan antara pemerintah masyarakat adat dan semua aktor yang berperan,” jelasnya. (LP2/red)