SEJARAH penginjilan di Tanah Papua diawali dengan masuknya para misionaris dari Jerman, Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gotlob Geissler. Meskipun mengalami jalan yang sangat panjang dan berliku, kedua penginjil tersebut memantapkan hati mereka untuk mengabarkan Injil di Tanah Papua.
Setelah melalui berbagai proses perizinan dengan pemerintahan Hindia Belanda yang pada saat itu menjajah Indonesia, maka pada tanggal 5 Februari 1855, kedua penginjil tersebut tiba di Pulau Mansinam di wilayah Teluk Doreh dengan sebuah pernyataan: “Dengan nama Tuhan, kami menginjakkan kaki di tanah ini”.
Tanggal ini selalu dirayakan umat Kristen Papua khususnya sebagai Hari Peringatan Pekabaran Injil atau HUT PI. Beberapa waktu kemudian mereka berdua menyeberang ke Pantai Kwawi di Manokwari yang berada di daratan besar pulau Papua.
Maka dimulailah perjuangan pekabaran injil yang penuh dengan tantangan dan pengorbanan mengingat di masa itu belum banyak informasi tentang Tanah Papua dan orang Papua oleh dunia luar. Kondisi alam yang masih sangat berhutan serta akses jalan yang tentunya sangat sulit menjadi tantangan tersendiri bagi para misionaris tersebut.
Terlebih lagi pengetahuan dan pemahaman tentang adat istiadat serta budaya setempat yang memang sangat terbatas, maka seolah perjuangan penginjilan tersebut akan sangat berat bahkan dapat saja berakhir dengan lebih cepat. Namun, informasi tertulis oleh salah seorang penginjil bernama G.F. De Bruin Kops terkait beberapa komunitas masyarakat di Manokwari, bagian barat daya Papua, yang cukup dapat diajak berkomunikasi memberikan secercah harapan dan semangat bagi Ottow dan Geissler.
Pada masa- masa selanjutnya Ottow melanjutkan misi di Manokwari sementara Geissler juga bermisi di Pulau Mansinam. Perlahan-lahan Ottow mulai mampu beradaptasi dengan komunitas masyarakat di Manokwari.
Terlebih karena keinginan dan komitmen kuat mereka untuk mempelajari bahasa komunitas setempat yang semakin membuka jalan komunikasi menjadi semakin membaik dari hari ke hari. Meskipun tidak serta merta semua orang menerima pekabaran Injil yang mereka lakukan.
Di samping mempelajari dan mempraktikkan bahasa setempat, Ottow juga membeli hasil-hasil kebun dan kerajinan masyarakat setempat untuk kemudian dijual kembali ke saudagar-saudagar Hindia Belanda yang berlayar dengan kapal di kepulauan Papua. Dalam perkembangan selanjutnya didapati berbagai pertentangan antara sang misionaris dengan masyarakat setempat.
Hal ini terjadi akibat adanya benturan antara nilai- nilai hidup dan budaya sang misionaris dengan masyarakat setempat. Pemahaman yang masih dalam tahap proses tentunya berpengaruh terhadap komunikasi yang sudah terbangun.
Dibutuhkan waktu dan pengertian terutama oleh sang misionaris atas adat istiadat dan budaya setempat sehingga celah-celah pertentangan dan potensi konflik dapat diperkecil. Ottow dan juga Geissler berupaya mengadakan pendekatan adaptasi yang dikenal dalam Antropologi Budaya sebagai “observasi dan partisipasi” di mana dengan melakukan pemahaman melalui pengamatan disertai keterlibatan secara langsung dalam peri kehidupan masyarakat maka Ottow dan Geissler mulai dapat menyelenggarakan kebaktian hari Minggu dalam bahasa Melayu pada tahun 1856, kemudian pada tahun 1857 dihasilkan sebuah buku Nyanyian serta terjemahan beberapa kitab Injil dalam Bahasa Numfor.
Setelah itu dibuka sekolah Zending pertama di Pulau Mansinam dan di Kwawi. Pada tahun 1867 dibuka sekolah Zending ke tiga di Meoswar dan tahun 1869 dibuka lagi di Andai.
Pekabaran Injil pun mulai meluas ke banyak tempat dan wilayah suku- suku di Papua hingga berdiri pula GKI (Gereja Kristen Injili) di Tanah Papua pada 26 Oktober 1956 yang kemudian menjadi gereja dengan persebaran serta umat terbanyak di Tanah Papua sampai hari ini.
Pengaruh masuknya Injil dan perkembangan Kekristenan di Tanah Papua tentunya sangat signifikan dan relevan dengan perkembangan peradaban serta pembangunan orang Papua. Secara khusus di Kota Manokwari, wilayah di mana Injil pertama kali mulai diberitakan untuk seterusnya tersebar ke seluruh daratan besar Pulau Papua.
Kota Manokwari yang dalam Bahasa Numfor berarti “kampung tua” menjadi salah satu tonggak sejarah peradaban orang Papua. Dalam sejarah pemerintahan di Papua, kota Manokwari adalah kota pemerintahan tertua yang diawali dengan dilantiknya J.J. Van Oosterszee sebagai Controleer Afdeling Noord Nieuw Guinea yang berkedudukan di Manokwari oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 8 November 1898, maka tanggal ini diperingati setiap tahun sebagai Hari Ulang Tahun/ HUT Kota Manokwari.
Dalam sejarah selanjutnya, Manokwari ditetapkan sebagai Pusat Pembantu Gubernur Wilayah II Provinsi Irian Jaya karena kota ini adalah kota pemerintahan pertama di Irian Jaya/Papua. Adapun moto dari Kota Manokwari adalah “Bersejarah” (Bersih, Sehat, Jaya, Rapi, Aman, dan Hidup). Kota Manokwari ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Manokwari pada tanggal 10 September 1969.
Atas dasar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 serta setelah ditetapkannya Undang Undang Otonomi Khusus No. 21 tahun 2001 maka terbentuklah Provinsi Irian Jaya Barat sebagai pemekaran dari Provinsi Papua dengan ibukota, Manokwari. Kemudian berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007 nama Provinsi Irian Jaya Barat diubah menjadi Provinsi Papua Barat.
Terpilihnya Kota Manokwari sebagai ibu kota Provinsi Papua Barat salah satunya dilatarbelakangi oleh sejarah Pekabaran Injil serta statusnya sebagai kota pemerintahan tertua di Papua. Seiring dengan penambahan status sebagai ibukota provinsi baru maka pembangunan semakin diintensifkan, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur dan pendirian kelengkapan lembaga-lembaga serta penambahan aparatur pemerintahan yang menjadi beberapa syarat penting berjalannya roda pemerintahan serta pembangunan di Provinsi Papua Barat umumnya serta di Kota Manokwari pada khususnya.
Peningkatan kualifikasi bandar udara Rendani, Pelabuhan Laut Manokwari, serta pembangunan jalan serta jembatan trans kabupaten dan provinsi menjadi pembangunan fisik yang nyata terlihat. Sehingga memudahkan arus keluar masuk manusia serta barang dan jasa yang sejatinya menjadi kunci perputaran ekonomi daerah.
Pembangunan kantor lembaga dan instansi pemerintahan baik yang bersifat horizontal dan vertikal juga menjadi sarana penunjang pembangunan manajemen pemerintahan serta pembangunan yang penting dan strategis.
Demi melancarkan roda pemerintahan maka para aparatur sipil negara juga ditempatkan pada instansi dan lembaga baik perwakilan dari pemerintah pusat maupun pada tingkat provinsi dan kabupaten.
Arus pertambahan penduduk dari daerah lain di Papua maupun dari luar Papua memberi pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan bisnis dan kemajemukan budaya di Kota Manokwari.
Dalam sector pendidikan, salah satu lembaga vertikal yang berada di Kota Manokwari adalah Universitas Papua (Unipa) dengan motto: “Pro Humanitate Scientia” atau “Ilmu untuk Kemanusiaan” juga mengambil peran yang strategis dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) melalui bidang pendidikan tinggi untuk mempersiapkan generasi muda menjadi sarjana terampil dan siap pakai dalam mendukung pembangunan di Kota Manokwari khususnya dan di Tanah Papua secara umum.
Di samping sektor pendidikan, maka sektor kesehatan juga menjadi prioritas pembangunan di Kota Manokwari dan secara umum di Tanah Papua. Maka tersedianya Rumah Sakit Umum Provinsi Papua Barat (RSUPB) berperan sebagai rumah sakit rujukan provinsi bagi masyarakat Papua Barat.
Selain itu keberadaan lembaga Kepolisan Daerah (Polda) Papua Barat serta Komando Daerah Militer (Kodam) XVIII/ Kasuari di Kota Manokwari sebagai ibukota Provinsi Papua Barat juga menjadi awal rentang komando yang memastikan ketertiban dan keamanan masyarakat di Provinsi Papua Barat.
Menilik fakta sejarah dan perkembangan Kota Manokwari yang nyatanya telah ditakdirkan menjadi tempat awal persebaran Injil dan peradaban ke seluruh Tanah Papua, maka dapat disimpulkan bahwa selain kota sejarah maka Kota Manokwari juga dapat dinyatakan sebagai Kota Pembangunan.
Ada historis dan emosional ikatan yang tidak terlepaskan dari sejarah Pekabaran Injil, perkembangan pemerintahan di Tanah Papua, dan pemekaran wilayah Papua yang menjadikan Kota Manokwari mempunyai peran strategis serta potensi menjadi kota yang maju dan menjadi percontohan bagi kota-kota lain di Provinsi Papua Barat serta Tanah Papua pada umumnya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup serta menjamin keberlangsungan pembangunan sampai kepada generasi-generasi selanjutnya.
Peran sektor agama, pendidikan, dan kesehatan pada dasarnya, dan variabel-variabel pembangunan lain pada umumnya yang dikoordinasikan dari Kota Manokwari sebagai ibukota provinsi menjadikan kota ini memegang posisi sentral dalam melanjutkan semangat awal Ottow dan Geissler, yaitu Tanah Papua yang diberkati dan sejahtera.
Sebagai penutup, salah satu ucapan paling fenomenal warisan salah satu penginjil Jerman yang bermisi ke Papua, Pdt. Izak Samuel Kijne: “ Barang siapa yang bekerja di tanah ini dengan setia, jujur, dan dengar-dengaran, maka ia akan berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain.” Telah dan akan terus menjadi inspirasi serta motivasi setiap orang yang hidup, berkarya, dan menjadi berkat di Tanah Papua, secara khusus di Kota Manokwari. (*)
Penulis: Leon Agusta, SS, M. Eng. Lit
(Institusi/Afiliasi: Universitas Papua, Manokwari)