BINTUNI, linkpapua.com- Bupati Teluk Bintuni Petrus Kasihiw menolak menandatangani berita acara hasil kesepakatan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (DBH Migas) di Kabupaten Sorong pekan lalu. Penolakan itu direspons anggota DPD RI Filep Wamafma.
Wamafma menilai, langkah Kasihiw telah menabrak aturan. Ia pun meminta kepala daerah merujuk pada aturan main agar tidak terjadi tumpang tindih.
Pernyataan Wamafma kemudian mendapat tanggapan anggota Bapemperda DPR Papua Barat Syamsudin Seknun. Dalam keterangan persnya kepada wartawan di Manokwari, Senin (24/10/2022) Syamsuddin menegaskan, langkah yang dilakukan Bupati Teluk Bintuni sudah sesuai pasal 117 Undang-undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“Dalam skema yang disepakati yaitu dari 70 persen dijadikan 100 persen. Kemudian pemprov inginkan 30 persen selanjutnya 70 persen dibagi rata kepada semua 13 kabupaten/kota se-Papua Barat,” jelas Syamsuddin.
Ia menjelaskan, pembagian skema ini sudah bertentangan dengan pasal 117 Undang-undang nomor 1 tahun 2022 dan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua. Karena itu Syamsuddin meminta Wamafma kembali pada regulasi.
“Saya mau tanya kepada saudara saya Filep Wamafma bahwa ketika berstatmen beliau tahu kah tidak isi dari berita acara yang ditandatangani semua Bupati/ Wali Kota yang kemudian ditolak tandatangani oleh Bupati Teluk Bintuni? Seharusnya saudara Filep mendukung langkah yang dilakukan Bupati Teluk Bintuni,” ujarnya.
Legislator muda ini menegaskan bahwa pernyataan senator Filep yang menyebut Bupati Teluk Bintuni tidak memahami aturan, tidak bisa diterima. Justru penolakan Bupati merujuk pada UU.
“Justru tepat yang dilakukan Bupati Kasihiw meluruskan amanat UU Otsus dan UU Nomor 1 tahun 2022,” ketusnya.
Kembali pada Rujukan UU
Sase (sapaan akrab Syamsudin) mengatakan revisi Perdasus Nomor 3 tahun 2019 tentang DBH Migas, telah dilakukan harmonisasi ke bina keuangan daerah Kemendagri. Piihaknya pun sudah mendapat penjelasan dalam surat Dirjen Bina Keuangan Daerah nomor : 188.34/26728/Keuda tanggal 25 Agustus 2022 kepada Direktorat PHD.
Ia menjelaskan, Perdasus Nomor 3 tahun 2019 dikembalikan kepada pemerintah provinsi untuk diperbaiki. Selanjutnya, rujukannya ada pada Undang-undang Nomor 1 tahun 2022 dan Undang-undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua, karena pada saat penetapan Raperdasus menjadi Perdasus Nomor 3 tahun 2019 tentang DBH Migas formulasinya masih merujuk pada UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan UU Nomor 21 tahun 2001.
Dalam UU Nomor 33 tahun 2004 itu mengamanatkan bahwa presentase awalnya 55 persen pemerintah daerah dan 45 persen untuk pemerintah pusat itu berubah. Di dalam UU Nomor 1 tahun 2022 dan UU nomor 2 tahun 2021 diubah menjadi 70 persen pemerintah daerah sedangkan 30 persen untuk pusat.
“Dalam skema pembagian persentase sudah jelas di mana dalam Perdasus 3 tahun 2019 itu mengatur tentang 3 pembagian yaitu, provinsi, kemudian daerah penghasil dan daerah non penghasil, tetapi ketika lahirnya UU nomor 1 tahun 2022 mengamanatkan 5 pembagian yaitu, pemprov, daerah penghasil, daerah terdampak, daerah non penghasil dan daerah pengelola, ketika rumusannya seperti begini seharusnya Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Sorong lebih besar dari daerah lain, ini rumusan Undang-undang, wajar dong Bupati Teluk Bintuni tolak,” jelas mantan Wakil Ketua Bapemperda DPR Papua Barat itu.
Sase menduga informasi atau penjelasan yang salah diterima Filep Wamafma. Sehingga berstatmen tidak sesuai. Padahal substansi dari anggota DPD RI dengan keinginan Bupati Teluk Bintuni sama tujuannya.
“Saya minta kepada saudara saya untuk mengklarifikasi statmen yang sudah disampaikan karena tidak sesuai,” pungkasnya. (LP2/red)