Disclaimer: Setiap tulisan dalam rubrik opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Media ini tidak bertanggung jawab atas isi, pendapat, dan sudut pandang yang disampaikan oleh penulis dalam artikel opini. Tulisan tidak selalu mencerminkan sikap, pandangan, atau kebijakan redaksi.
PAPUA Tengah merupakan daerah yang berada di timur Indonesia yang identik dengan kekayaan alamnya yang berlimpah ruah. Dengan segala kelebihan dan kekayaan alamnya tentu dapat memberi dampak yang baik bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Data terbaru, Provinsi Papua Tengah menjadi daerah yang paling cepat terkumpul se-Indonesia sampai dengan posisi Mei 2025. Dengan total realisasi penerimaan asli daerah per Mei telah mencapai 48,71% (sumber: cnbcindonesia.com). Ini memberi sinyal positif terhadap postur anggaran dan geliat ekonomi Papua Tengah ke depan.
Fakta dan Ironi di Lapangan
Data terbaru yang dipaparkan Menteri Dalam Negeri pada 26 Mei 2025 mengungkap fakta mengejutkan: Papua Tengah mengalami kontraksi ekonomi terburuk di Indonesia, yakni minus 25,53% pada kuartal I tahun ini.
Di sisi lain, realisasi PAD Papua Tengah justru tertinggi secara nasional, mencapai 48,71% per Mei 2025. Namun, belanja daerahnya hanya menyentuh angka 9,11%. Ini artinya, uang ada—tapi tidak digunakan. Ekonomi jelas tidak akan bergerak jika uang hanya “mengendap” di rekening pemerintah.
Kondisi ini menandakan adanya kegagalan dalam manajemen fiskal dan perencanaan pembangunan. Uang yang seharusnya digunakan untuk memutar roda ekonomi rakyat justru diam seakan menunggu waktu yang tak pasti. Jika pemerintah daerah tak segera membelanjakan anggaran untuk kegiatan produktif—seperti infrastruktur, pemberdayaan UMKM, bantuan usaha masyarakat, dan layanan dasar—maka jurang ketimpangan akan semakin lebar. Rakyat akan terus menunggu, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah pun akan terus menurun.
Akumulasi dan Tantangan Distribusi Uang
Papua Tengah, wilayah yang penuh potensi. Kekayaan alamnya melimpah, manusianya kuat, dan semangat kolektifnya masih hidup. Namun, semua itu tidak otomatis menjadi kesejahteraan jika uang, sebagai medium penggerak ekonomi, tidak hadir secara merata (sumber: petarungpapua.com).
Masalah utama bukan pada kurangnya dana, melainkan terletak pada sumbatan distribusinya. Uang “mengendap” di kas pemerintah, rekening kontraktor, dan meja birokrasi, bukan di pasar, warung, atau dompet rakyat. Realisasi belanja yang baru menyentuh 9,11% adalah bukti nyata bahwa roda ekonomi tidak benar-benar bergerak dari bawah.
Dalam realitas ini, kemiskinan struktural—yang masih bertahan di angka 29,76%—tidak hanya menjadi akibat, tapi juga bagian dari sistem yang belum berubah. Uang, yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan dan pemberdayaan, malah menjadi simbol ketimpangan.
Gubernur Harus Mengambil Tindakan
Pemerintah daerah harus keluar dari logika akumulasi menuju keberpihakan pada distribusi. Ini berarti mempercepat belanja dengan prinsip kebermanfaatan langsung kepada rakyat: lewat padat karya, dana kampung, dukungan usaha mikro, dan kebijakan afirmatif terhadap masyarakat berpendapatan rendah.
Ekonomi rakyat tidak butuh proyek besar semata, tapi butuh uang yang berputar di pasar, di kebun, dibengkel kecil, di pedagang-pedagang atau penjual-penjual kaki lima. Ketika uang mengalir ke banyak tangan, daya beli meningkat dan ekonomi membaik dan berdampak pada terciptanya lapangan pekerjaan.
Papua Tengah punya potensi luar biasa. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang ada, juga mampu menyentuh denyut kehidupan masyarakat paling bawah. Sebab tanpa distribusi, pembangunan hanya menjadi menara gading yang tinggi, tapi sepi makna.
Gubernur Papua Tengah perlu bertindak cepat karena setiap detik yang mengendap adalah waktu yang mengubur potensi ekonomi rakyat. Jangan biarkan Papua Tengah terus dikenal sebagai wilayah yang kaya sumber daya tapi miskin gerak ekonomi. Kepemimpinan hari ini ditentukan oleh keberanian bertindak. (*)
Penulis: Sekjen Forum Pemuda Papua Tengah, Muhammad Amin SE





