MANOKWARI, Linkpapua.com – Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi. Pedoman ini memberi ruang lebih luas kepada penyalahguna narkoba untuk menjalani rehabilitasi daripada hukuman penjara.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, pedoman tersebut dikeluarkan dan ditetapkan oleh Jaksa Agung sebagai acuan bagi penuntut umum guna mengoptimalisasikan penyelesaian penanganan perkara penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi, dengan pendekatan keadilan restoratif.
“Latar belakang dikeluarkannya pedoman itu adalah memperhatikan sistem peradilan pidana saat ini yang cenderung punitif. Itu tecermin dari jumlah penghuni lapas yang melebihi kapasitas (overcrowding), dan sebagian besar merupakan narapidana narkotika,” kata Leonard dalam kutipan resmi yang diterima Linkpapua.com, Senin (8/11/2021).
Mantan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Papua Barat itu, menjelaskan, bahwa isu overcrowding telah menjadi perhatian serius masyarakat dan pemerintah. Oleh karenanya, diperlukan kebijakan kriminal yang bersifat strategis, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
“Salah satunya melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum dimaksud, dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang penuntutan dilakukan melalui optimalisasi lembaga rehabilitasi,” kata Leonard.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa Jaksa Penuntut umum selaku pengendali perkara berdasarkan asas dominus litis, dapat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan.
Menurut Leonard, penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi merupakan mekanisme yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan keadilan restoratif, dengan semangat untuk memulihkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang bersifat victimless crime.
“Penyelesaian perkara melalui rehabilitasi dilakukan dengan mengedepankan keadilan restoratif dan kemanfaatan (doelmatigheid), serta mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta asas pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), cost and benefit analysis, dan pemulihan pelaku,” ujar Leonard.
Yang Bisa Direhab
Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi, dengan Pendekatan Keadilan Restoratif terdiri dari sembilan BAB, dengan ruang lingkup meliputi Prapenuntutan, Penuntutan, Pengawasan, Pelatihan, dan Pembiayaan.
Pedoman tersebut telah berlaku efektif sejam 1 November 2021. Mereka yang bisa mendapat rehabilitasi ialah tersangka yang dijerat dengan Pasal 127 ayat (1) Undang-undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang perkaranya belum dilimpahkan ke Pengadilan.
“Jadi selama perkara belum dilimpahkan ke Pegandilan, maka proses penanganannya oleh Jaksa Penuntut umum akan dilakukan berdasarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021,” ujar Leonard.
Selain itu, lanjut Leonard, tersangka yang bisa direhabilitasi adalah mereka yang belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali yang didukung dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga berwenang.
“Jenis dan persyaratan rehabilitasi melalui proses hukum, dikualifikasikan menjadi dua bagian, yakni rehabilitasi medis dan sosial. Hanya mereka yang memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam pedoman, yang bisa direhabilitasi,” kata Leonard.
Leonard berharap, pelaksanaan pedoman oleh penuntut umum dapat dilakukan sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab. Tidak melakukan perbuatan tercela dalam penerapannya, serta menindak tegas setiap oknum Kejaksaan yang mencoba menciderai maksud dan tujuan dari pedoman tersebut.(LP7/red)