JAKARTA, Linkpapua.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pendampingan kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat terkait penagihan kewajiban Pajak Air Permukaan (PAP). Penagihan akan dilakukan kepada wajib pajak PT SDIC Papua Cement Indonesia Conch yang berlokasi di Kampung Maruni, Distrik Manokwari Selatan, Kabupaten Manokwari, Senin 6 Juni 2022.
“Pendampingan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) korupsi di Provinsi Papua Barat, 27 Mei – 12 Juni 2022,” ujar Kepala Satuan Tugas Korsupgah Wilayah V KPK, Dian Patria.
Dalam proses pendampingan tersebut, Dian menjelaskan, Tim Korsupgah Wilayah Papua Barat bersama Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dan Inspektorat Daerah Provinsi Papua Barat melakukan kunjungan langsung ke Kantor PT SDIC. Tim diterima oleh pihak PT SDIC, yang diwakili oleh sejumlah manager teknis perusahaan tersebut.
Pihak perusahaan menyambut baik kedatangan KPK dan Pemprov Papua Barat. Mereka memahami bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari pelaksanaan tugas pemerintah. Baik pihak perusahaan, maupun pemprov berharap agar kehadiran KPK bisa menjadi penengah dalam persoalan ini.
“Sebab, sejak penagihan dilakukan pada Juni 2021 belum ada kesepakatan waktu dan nilai pembayaran tunggakan PAP PT SDIC,” kata Dian.
Sebelumnya, Bapenda telah berupaya melakukan penagihan pajak PAP terkait pemanfaatan air Sungai Maruni untuk kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga Air PT SDIC, sebesar Rp 11 miliar. Namun, PT SDIC menolak membayar tagihan sesuai surat yang dilayangkan Bapenda.
Jumlah tagihan ini, lanjut Dian, merupakan akumulasi dari PAP yang belum dibayarkan sejak Januari 2017 hingga Desember 2019. Jumlah ini akan bertambah jika memasukkan tagihan PAP untuk tahun 2020 hingga saat ini.
Dalam surat balasan yang disampaikan oleh PT SDIC kepada Bapenda Papua Barat tanggal 24 Juni 2021, perusahaan menyatakan menolak untuk membayar keseluruhan tagihan pajak yang ditetapkan. Bahkan meminta penghapusan denda dan biaya keterlambatan.
Terkait dengan hal tersebut, lanjut Dian, BPK Papua Barat telah meminta konfirmasi pihak perusahaan sebagai bagian dari proses pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Papua Barat, pada April 2022. Proses pembahasan antara pihak pemprov dengan perusahaan terus berlangsung sejak April hingga Mei 2022.
Menurut Dian, pihak perusahaan senantiasa berdalih, belum mendapatkan kejelasan dasar hukum atas keberatan yang mereka ajukan. Saat ini mereka mengaku sedang meminta pendapat hukum dari Kementerian PUPR dan Kementerian Investasi/BKPM.
Sementara berdasarkan Peraturan Gubernur Papua Barat No. 13 Tahun 2017, setiap keberatan hanya akan diproses jika tunggakan pajak telah dibayarkan sebesar 50%.
“Untuk itu dalam pertemuan pada 6 Juni 2022, KPK mendorong agar pihak perusahaan memenuhi terlebih dahulu piutang pajaknya, sambil mengajukan keberatan untuk diproses sesuai dengan aturan yang berlaku,” jelas Dian.
Di sisi lain, Dian memastikan, KPK juga akan memfasilitasi pertemuan antara pemerintah daerah dengan Kementerian PUPR untuk menyamakan persepsi tentang dasar dan metode perhitungan PAP.
Namun untuk mengingatkan perusahaan sebagai wajib pajak yang harus mematuhi kewajibannya, Bapenda memasang tanda (spanduk) ketidakpatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya.
“Pemasangan tanda ini, merupakan proses dari pendidikan publik bahwa setiap wajib pajak. Termasuk wajib pajak daerah wajib untuk membayarkan kewajibannya sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.
Lebih lanjut Dian menegaskan bahwa kepatuhan ini sebagai bentuk dukungan kepada Pemerintah Papua Barat dalam menggali sumber-sumber pendapatan sli daerah yang menjadi komponen penting penyusunan APBD.
Bagi KPK, upaya pendampingan ini menjadi bagian dari upaya untuk menyelamatkan keuangan daerah. Sekaligus untuk mendorong kemandirian fiskal Papua Barat.
Kepatuhan wajib pajak merupakan indikasi awal tata kelola yang baik dan bebas dari fraud, corruption, and misconduct. Di samping itu, dalam pendampingan tersebut KPK juga meminta kepada pelaku usaha untuk menyampaikan secara terbuka jika ada praktik pemerasan atau permintaan gratifikasi dari pihak pemerintah, untuk menjadi perhatian KPK.
“Hal ini sebagai upaya bersama untuk menciptakan iklim usaha yang sehat bagi dunia usaha sekaligus untuk menjamin penerimaan daerah yang optimal,” tutup Dian. (*/Red)