BINTUNI, Linkpapuabarat.com – Masyarakat Suku Sebyar dan 5 distrik mendesak adanya beberapa perubahan pada adendum amdal yang tengah dibahas dengan pemerintah pusat. Adendum itu dinilai banyak mengorbankan masyarakat adat.
Ibrahim Patiran, salah satu perwakilan tokoh pemuda dari Suku Sebyar mengatakan, pembahasan sidang amdal hari ini merupakan adendum perubahan. Substansinya berhubungan dengan adanya beberapa kepentingan pihak perusahaan. Sehingga adendum ini perlu ada perubahan.
“Perlu saya tegaskan bahwa, sebenarnya kami saat ini hadir ini, kami adalah tuan rumah. Maka perlu ada perhatian-perhatian khusus, yang artinya kami hadir ke sini itu, kami hanya ingin kejelasan. Mana yang menjadi bagian masyarakat. Itu yang terpenting. Sampaikan ke kami mana hak masyarakat,” tegasnya.
Terkait pembayaran 32.4 miliar dan DBH MIGAS, dirinya meminta pemerintah provinsi segera membuat peraturan gubernur ( PERGUB) sebagai acuan pemerintah daerah kabupaten untuk membagi DBH MIGAS sesuai fersi PERDA Kabupaten pengasil yg merujuk dari PERDASUS PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2019.
Menurut Ibrahim, wajar masyarakat mempertanyakan dana Rp 32 miliar itu. Karena sebenarnya itu mengacu kepada otonomi, yang seharusnya dikembalikan kepada pemerintah daerah.
“Mengapa, karena kita sudah menjadi daerah otonomi khusus yang mengatur secara mandiri tentang daerahnya. Kalau barang itu ada di pusat, maka barang ini hanya berputar di pusat. Karena di pusat punya aturan-aturan umum yang talingkar (melingkar) sehingga barang ini mau turun ke masyarakat ini agak susah,” tuturnya.
Karenanya barang ini sebaiknya dihibahkan saja ke pemerintah daerah. Agar mereka membuat regulasi sesuai otonomi khusus, untuk kemudian diberikan kepada masyarakat.
“Masyarakat itu dapat langsung menerima manfaat yang baik” tambahnya lagi.
Lebih lanjut Ibrahim mengatakan, selain itu masalah tenaga kerja, yang harus diperhatikan. Mengingat ada sebagian adik adik yang masih terikat kontrak di perusahaan dipulangkan. Karena alasan adanya pandemi Covid-19.
Namun tempat mereka yang kosong, langsung diisi oleh orang lain.
“Kemarin begitu Covid-19, adek-adek kita ada yang terikat kontraknya di perusahaan masih ada yang 6 bulan, 3 bulan, 2 bulan, bahkan 1 bulan, itu dipulangkan, kemudian mereka punya lowongan kosong itu diisi oleh orang lain yang masuk ke sana, akhirnya mau kembali sudah tidak bisa,” ucapnya.
Tambah Ibrahim, bisa dilihat suatu daerah itu akan maju jika memiliki sumber daya. Sehingga dari semua aspek harus diperhatikan, dan diperdayakan.
“Seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, pembangunan. Nah itu pada prinsipnya semua harus lebih diperhatikan, karena daerah ini memiliki potensi yang cukup luar biasa,” ucapnya lagi.
Ibrahim juga meminta Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) agar hadir dalam pembahasan seperti ini. Mengapa demikian? Karena PUPR adalah perpanjangan tangan dari pemerintah daerah yang dititipkan atau dikerjasamakan oleh BP Tangguh.
“Ketika tuntutan dari aspirasi yang telah disampaikan kepada pemerintah daerah. Dan apabila tidak dilakukan hasil kesepakatan bersama itu, maka tren 3 itu kita hentikan. Dengan cara kami. Dan perlu diketahui bahwa tuntutan ini sudah kami usulkan sejak tahun 2002 di amdal pertama di Jayapura, kemudian amdal kedua 2014 yang diselenggarakan di Teluk Bintuni,” jelasnya.
Maka harusnya adendum ini sepenuhnya berpihak ke masyarakat. Harus memperhatikan kepentingan sesuai Perda Perlindungan Untuk Masyarakat Adat yang berlaku di Kabupaten Teluk Bintuni. (LPB5/red)