MANOKWARI, linkpapua.com – Gereja bagi masyarakat Papua memiliki peran universal. Tak sekadar sebagai wadah menata kerohanian, gereja juga menjadi basis yang diberi mandat untuk menyelamatkan alam dari krisis ekologi.
Dalam buku Spirit Ekologi Integral, perspektif ini dibahas dari berbagai pendekatan. Muaranya adalah, mendorong gereja memiliki peran sentral dalam menjaga keberlangsungan alam.
“Banyak mitologi-mitologi yang dipercayai oleh orang-orang Papua, yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan hidup. Masyarakat Papua mempercayai bahwa alam adalah sumber kehidupan mereka, tempat masyarakat bergantung untuk menjalani kehidupan. Karena itu, alam harus dijaga. Dengan menjaga alam, maka alam akan memberi kehidupan lebih panjang,” begitu tertulis dalam buku Spirit Ekologi Internal.
Kepala BPBD Papua Barat Derek Ampnir mengemukakan, masyarakat dan gereja adalah basis kuat dalam edukasi penyelamatan lingkungan. Sebab karakteristik orang Papua, mereka mempercayai bahwa alam adalah sumber kehidupan.
“Itulah sebabnya gereja beserta jemaatnya memperoleh mandat untuk merawat dan menjaga alam yang sudah diciptakan oleh Tuhan,” ujarnya.
Gereja menerapkan konsep teologi kontekstual yang berbasis pada masyarakat dan budaya serta Ekologi. Dengan kata lain, Spirit Ekologi Integral adalah solusi atas ancaman di atas.
Ekologi Integral adalah pendekatan teologis. Itu merupakan panggilan misioner masa kini, bagi semua orang, untuk mengelola, merawat, dan memelihara planet bumi ini sebagai rumah bersama.
Dari buku itu, kata Derek, tergambar bahwa bumi menjadi rumah bersama. Tanah air kosmis bagi semua penghuninya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya manusia belajar mencintai planet ini.
Jika tidak, menurut Derek, akan menjadi ancaman hari ini dan masa depan. Ini akibat adanya krisis spiritualitas pada diri manusia.
Dengan adanya kesadaran pada krisis ekologo, diharapkan dapat membimbing manusia agar lebih mampu menghargai alam semesta. Manusia harus didorong untuk memahami bahwa usahanya dalam memelihara dan menjaga
planet ini adalah bagian dari ketaatannya pada perintah Allah.
Manusia Andil dalam Kesusahan Lingkungan
Ada banyak faktor yang memicu
kerusakan lingkungan. Tetapi siapakah yang paling bertanggung jawab? Tidak ada yang lain kecuali manusia.
Manusia memiliki karakter yang cenderung merusak alam semesta dengan berbagai motivasi. Mulai dari keserakahan, gaya hidup hingga tuntutan modernisasi teknologi.
Semua sadar bahwa itu adalah pemicu kerusakan ekologis yang pelan, tapi masif. Misalnya saja, perambahan hutan besar besaran. Eksplotasi tambang hingga pencemaran pada tanah dan air sungai.
Dalam buku Spirit Ekologi Integral dipaparkan, aalah satu akar penyebab kerusakan lingkungan dewasa ini adalah model relasi antara diri manusia dan alam semesta yang ditandai dengan dialog eksperimental. Dialog ini mencakup dua dimensi konstitutif: pemahaman dan perubahan. Sains modern dewasa
ini muncul sebagai kekuatan yang ‘melampaui’ alam dan mencoba untuk memahaminya, sedangkan teknologi hadir untuk mengubah alam.
Sains modern mulai dengan mengabaikan legitimasi dialog-dialog lain dengan alam, seumpama yang ditemukan dalam agama-agama lokal. Sains bahkan terlalu jauh mengabaikan alam dengan menolak untuk mengakui kompleksitas alam.
Sains berasumsi bahwa alam dapat diatur dengan hukum-hukum sederhana yang tidak dapat diubah, seperti hukum Newton
dan Einstein. Akibatnya, kerusakan terjadi pada dan manusia tidak mampu mencegah kerusakan terus menerus itu.
Karena itu, krisis ekologi yang melanda bumi kita dewasa ini menuntut tanggung jawab semua manusia. Sebab tidak dapat diingkari bahwa tindakan manusia
memiliki andil besar dalam krisis tersebut. Krisis ekologi menjadi cermin krisis spiritualitas yang dialami manusia.
Dari cerminan inilah gereja dan masyarakat adat Papua dituntut mengambil peran dalam penyelamatan alam. Lewat basis spiritual dan pendekatan budaya yang berbasis pada alam. (*)