MANOKWARI, linkpapua.com- Pria Paru baya itu terus menyemprot air di kendaraan roda dua yang parkir di halaman berukuran 4X3. Sesekali ia menyabuni motor tersebut, sembari beralih menyemprot motor yang lain.
Keseharian, pria itu ditemani seorang perempuan beruban yang usianya terpaut empat tahun di atasnya, namun Minggu, (19/2/2023) hingga matahari terbenam, perempuan itu tak kelihatan.
“Bu de lagi sakit, sekarang pak de sendiri yang kerja hari ini,” ucap Mukmin, (59) sembari mengemas barang bawaannya setelah membersihkan motor terakhir,
Mukmin dan Parida (63) pasangan suami istri asal Betawi Jakarta, merintis usaha cucian motor dan mobil sejak 2017. Ketika merantau ikut kerabatnya ke Manokwari Papua Barat 2016 silam.
Saat usaha kerabatnya macet, keduanya bermodalkan mesin kompresor, mula-mula membuka usaha di kawasan Trikora Wosi AMD Kelurahan Wosi Distrik Manokwari Barat. Namun lahan di AMD tergusur karena pembangunan rumah susun (Rusun) milik tentara.
“Kita buka usaha pertama di AMD makanya banyak pelanggan menyapa saya dengan sebutan pak de AMD, lalu di gusur lahan disitu, kita pindah ke dekat jembatan arah ke pasar wosi, beberapa kali mencoba disitu namun kurang cocok jadi kita pindah ke sini (Taman Ria),” tuturnya.
Merawat Kepercayaan Pelanggan
Usaha kedua suami istri memang tidak kelihatan berkembang, salah satu faktor karena hanya di kerjakan berdua saban hari. Selama beberapa tahun, meski diterpa Pandemi Covid-19, keduanya terus bertahan, hingga saat ini mereka terus menjaga kepercayaan pelanggan.
“Kitorang senang cuci motor di pak de, karena hasilnya bagus, kita juga bisa bayar besoknya kalau memang belum ada uang” tutur Mathias, salah satu pelanggan pencucian motor Pak De Makmun.
Hasil dari usaha ini memang tidak membuat keduanya lantas menjadi orang yang tergolong berada. Namun bisa mencukupi hidup pasangan suami istri itu dibanding keduanya masih di daerah asalnya.
“Yang tetap kita jaga adalah kepercayaan pelanggan, ini yang membuat saya dan Bu de selalu tekun bekerja, walau hasil dari usaha ini tidak membuat kami kaya, tetapi syukur Alhamdulillah dapat mencukupi kehidupan kami berdua selama in,” kata Mukmin.
Tarif cucian yang Ia kenakan bagi setiap Kendaraan roda dua, sebesar Rp20 ribu, sedangkan roda empat bekisar Rp100 ribu. Dua pasangan itu saling berbagi tugas ketika banyak pelanggan.
“Pak dek tangani Mobil, Bu de tangani motor itu kalau ramai, tapi kalau agak sepi atau hanya motor saja, pak de dibagian basah nanti Bu dek yang keringkan,” ucapnya.
Mukmin menyebut bahwa, tempat cuci motor itu di sewa per bulan Rp1 Juta,
Pindah dari Bogor ke Manokwari
Sekian tahun hidup di rumah tak layak di kawasan, Karang Anyar belakang Pasar Baru Jakarta pusat, Mukmin dan keluarga terpaksa pindah pada tahun 1990 ke Bogor. Karena rumah tempat hidupnya digusur akibat dampak pembangunan.
“Kita awalnya tinggal di kawasan kumuh belakang pasar baru, karang anyar Jakarta pusat, hidup susah di situ, lalu digusur karena ada mau buat pembangunan, kita pindah ke Bogor hingga kemudian ke Manokwari,” tutur pria yang akrab disapa Pak De itu.
Keduanya di Manokwari, tinggal didekat Bandara Rendani, menumpang di rumah milik mantan Kepala Bandara, “Pak de dan Bu de diminta tinggal saja di rumah milik mantan kepala bandara rendani, didekat gudang kargo,” tuturnya.
Menyimpan Rahasia Kepergian Anak Semata wayang
Mata Pria itu berkaca, ketika menyebut Imam Malik, nama putra semata wayang (satu-satunya) yang telah meninggal dunia di masa Pandemi covid-19. Setelah menikah beberapa tahun dengan istrinya, Imam Malik dikabarkan meninggal akibat Corona.
Kabar duka itu kemudian terdengar oleh Mukmin, saat itu ia tidak bisa berbuat banyak sebab pembatasan dan pengetatan aturan bagi para pelaku perjalanan dari luar daerah ataupun sebaliknya karena Pandemi covid melanda Indonesia, membuat Ia akhirnya mengikhlaskan kepergian putranya tanpa kedua orang tuanya berada di samping untuk melihat yang terakhir kali.
Kabar duka kepergian Imam Malik, seakan ia telan sendiri hingga enggan berbagi kepada Istrinya. Mukmin belum pernah menceriterakan kepada Parida,
“Saya dan Bu de punya anak laki-laki satu-satunya, memang sudah menikah dan bekerja di hotel di Jakarta, menikah sekitar 4 tahun mereka belum dikarunia anak, tapi saat covid kemarin, anak kami meninggal dunia, saya mendapat kabar itu, kami masih di Manokwari,” tutur Mukmin sembari mengusap air mata kala mengisahkan tentang anaknya.
Sambil memalingkan wajahnya, mukmin menutur bahwa, kepergian anaknya sejak Pandemi hingga saat ini belum diketahui istrinya. “Istri saya sampai saat ini belum tahu kalau anak kami sudah meninggal dunia, saya tidak sanggup cerita kabar ini ke Bu de sejak saya dapat kabar duka Tahun 2021,” ucap Mukmin.
Kepergian Imam Malik kala itu dipasrahkan saja oleh Mukmin, karena keadaan. Tetapi ia kemudian merasa sangat bersalah karena istrinya hingga saat ini belum mengetahui bahwa putranya sudah wafat setahun yang lalu.
Orang Papua itu Baik
Cerita tentang alam dan Orang Papua, bagi sebagian orang mungkin terdengar agak miring, namun tidak bagi Mukmin yang separuh usianya ia habiskan di Kampung halaman sebagai orang Betawi. Hidup di Kota Metropolitan yang dihuni oleh berbagai suku bangsa sejak dulu membuat ia sangat memahami karakter setiap warga bangsa.
“Saya sudah lama hidup dengan orang Timur, Makassar, Ambon Batak bahkan Papua di Jakarta Pusat, tempat dulu kami hidup sebelum ke Bogor, ini tentu membuat saya sangat paham tentang karakter setiap orang. Pada dasarnya kita semua baik, apalagi orang Papua,” ucap Mukmin
Sebelum merantau ke Papua Barat, seorang yang ia kenal dari kawasan lembah Kebar Kabupaten Tambrauw yang ia kenal di Bogor mengajaknya ke Papua. “Ada teman bilang ke pak de, ayo ke Papua, Kebar ada kita punya tanah pak de bisa buka usaha kios atau apa saja di sana,” katanya, mengisahkan kembali beberapa tahun sebelum ia benar-benar ke Papua Barat.
Ajakan itu tidak membuat ia langsung berangkat ke Papua Barat, namun baginya kebaikan orang Papua ketika mengenal orang di luar, hingga Ia benar-benar ke Manokwari bersama kerabatnya. Menginjakkan kaki di bumi Kasuari, ia merasa berbeda dengan kehidupan sebelumnya di tanah kelahiran.
“Saya merasa aman karena keramahan orang-orang disini, saya sudah ke Kebar, Saukorem Tambrauw, lalu ke Ransiki tidak ada seperti yang digambarkan orang-orang di luar sana tentang Papua, memang biasanya ada orang mabuk yang membuat resah, namun itu hal biasa seperti juga kita temukan daerah lain,” katanya. (LP2/red)