MANOKWARI, linkpapua.com- Adanya laporan masyarakat yang kini berbuah pengembangan kasus dugaan pungli pada layanan PCR di RSU Manokwari oleh Polda Papua Barat, menurut Lembaga Bantuan Hukum Insan Cita (LBH-IC) Manokwari menunjukkan hidupnya kontrol publik terhadap layanan kesehatan di Manokwari.
Namun kontrol tersebut juga mesti didasari oleh pemahaman yang utuh mengenai pengenaan tarif PCR, sehingga kesimpulan soal apakah tindakan RSU Manokwari memiliki pijakan hukum atau tidak, menjadi terang benderang dan tidak menimbulkan polemik. Demikan juga agar proses penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Papua dilihat secara proporsional oleh publik.
Pegiat dan sekretaris LBH-IC Manokwari, Patrix Barumbun Tandirerung mengatakan, jika dicermati, “titik api” dari kasus ini terletak di bulan Juli 2021, yakni ketika Manokwari menjadi daerah dengan kasus Covid-19 tertinggi di Manokwari yang diikuti dengan tingginya kebutuhan pemeriksaan PCR khususnya untuk pelaku perjalanan.
Itu sebabnya pada 1 Juli 2021, Plt direktur RSUD Mkw dr Alwan Rimosan, Sp.B. FINACS menerbitkan Peraturan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Manokwari Kabupaten Manokwari nomor 445.6/563.1/2021 tentang Tarif Pelayanan Pemeriksaan SWAB PCR yang meliputi komponen Jasa Sarana sebesar Rp. 550.000; dan Jasa Pelayanan sebesar Rp 200.000 dengan total tarif Rp.750.000.
Perdir ini tidak bisa dipisahkan dari payung hukum pengenaan tarif PSC yang diatur dalam surat edaran Dirjend pelayanan kesehatan nomor HK.02.02/I/3713/2020 tahun 2020. Edaran ini secara substantif mengatur batasan tarif tertinggi pemeriksaan real time polymerase chain reaction (RT PCR) yang berlaku pada waktu itu.
Dalam surat edaran tersebut, ditegaskan bahwa batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan RT-PCR termasuk pengambilan swab adalah Rp. 900.000,- yang berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan RT-PCR atas permintaan sendiri/mandiri.
Yang tidak dibolehkan adalah memungut biaya untuk kegiatan penelusuran kontak (contact tracing) atau rujukan kasus COVID-19 ke rumah sakit yang penyelenggaraannya mendapatkan bantuan pemeriksaan RT-PCR dari pemerintah atau merupakan bagian dari penjaminan pembiayaan pasien COVID-19.
PCR untuk pelaku perjalanan menurut Patrix termasuk dalam kategori pemeriksaan mandiri yang bermakna atas permintaan sendiri untuk kepentingan perjalanan karena mensyaratkan adanya hasil pemeriksaan PCR. Jika ada pendapat berbeda, itu wajar, sebab surat edaran tersebut tidak memberikan definisi yang benar-benar terang dalam kaitannya dengan status pelaku perjalanan. Namun juga sama sekali tidak secara eksplisit menempatkan pelaku perjalanan dalam subjek yang dikecualikan.
“Ini diskursus hukum yang menarik. Tapi dalam praktik, kalau kita buka google, sejumlah RS di daerah lain yang mematok tarif, diumumkan ke publik. Soal adanya tarif ini Dirut RS Manokwari juga saya lihat mengumumkannya ke publik bahkan diberitakan oleh media massa,” katanya. “Ini artinya tidak ada niat dari manajemen untuk menarik tarif serupa ini secara diam-diam atau secara terselubung.”
Jika dilihat dari aspek cakupan keberlakuan dan hirarki kelembagaan pembuat, lanjut Patrix, surat edaran tersebut jauh lebih luas dan tinggi dibanding Perdir RSUD Manokwari sehingga yang patut, wajar dan logis adalah bahwa tarif yang ditetapkan oleh Perdir tidak boleh melampaui tarif tertinggi yang ditetapkan melalui surat edaran nomor HK.02.02/I/3713/2020 tersebut.
Kenyataannya tarif pelayanan pemeriksaan di RSUD Manokwari yang diatur secara tenis dalam Perdir masih di bawah batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan RT-PCR termasuk pengambilan SWAB yang diatur melalui surat edaran Dirjend Yankes Depkes.
“Dengan kata lain, secara normatif RSUD Manokwari sudah mengikuti atau tidak melanggar tarif tertinggi yang diatur dalam surat edaran tersebut demikian juga pada subjek yang diperiksa, dasarnya hukumnya pun sangat jelas,” kata Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Manokwari ini.
Lepas dari itu, pada tanggal 16 Agustus 2021 Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan surat edaran nomor : HK.02.02/I/2845/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reserve Transcription Polymeras Chain Reaction (RT-PCR) yang secara prinsip mencabut edaran sebelumnya dan mengubah nilai tarif tertinggi menjadi sebesar Rp.525.000. Dengan perubahan itu, maka Peraturan Dirut RSUD Manokwari seharusnya direvisi atau disesuaikan sehingga tidak memunculkan polemik baru.
Soal proses penyelidikan dan pengembangan yang kini dilakukan oleh Polda Papua Barat, Patrix mengatakan itu artinya, pihak kepolisian sedang berupaya mengonstruksi peristiwa pengenaan tarif dan biaya pemeriksaan PCR tersebut sebagai peristiwa hukum, atau tepatnya sebagai tindak pidana dengan cara mengumpulkan bukti dan keterangan yang dibutuhkan secara profesional.
Menurutnya, Ini proses yang normal dalam konteks penegakan hukum juga sebagai sikap responsif terhadap laporan masyarakat. Mereka yang diperiksa juga kelihatannya sangat kooperatif.
“Tapi pemeriksaan ini jangan sampai membuat manajemen dan direktur BLU RSUD kehilangan fokus dan semangat untuk melayani masyarakat dan membenahi tata kelola RSUD apalagi setelah direktur dilantik sebagai pejabat definitif. Di sisi lain, kegaduhan atau opini apapun terhadap masalah tersebut hendaknya tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah serta keberimbangan,” pungkasnya. (CP/red)