MANOKWARI, Linkpapua.com – Ketua Fraksi Otsus DPR Papua Barat (PB), George Karel Dedaida, menilai pemerintah mesti memberikan perhatian pada pendidikan informal untuk menanggulangi angka putus sekolah di Papua Barat. Menurutnya, pendidikan bukan semata-mata mesti di bangku sekolah.
“Misalnya, literasi dan komputerisasi di luar sekolah harus digiatkan supaya anak-anak kita ini tidak saja mendapat edukasi dalam atap sekolah saja. Tetapi, di lingkungan keluarga/masyarakat juga ada iklim belajar yang soft harus berkaitan dengan pendekatan kultur dan budaya setempat. Kita harap untuk didorong melalui lembaga-lembaga informal,” ucap Dedaida, Rabu (19/10/2022).
Pernyataan Dedaida ini menyikapi data bahwa banyak anak orang asli Papua (OAP) putus sekolah atau tidak mendapatkan pendidikan layak. Diketahui, ada kurang lebih 500 ribu anak OAP di Papua Barat yang putus sekolah atau tidak mendapatkan pendidikan layak, baik di tingkatan SD, SMP, maupun SMA dan sederajat. Angka ini seperti dipaparkan akademisi Universitas Papua (Unipa), Agus Sumule.
Dedaida mengatakan, dengan kemajuan ilmu dan teknologi saat ini, maka komputerisasi harus didorong. “Jangan lebih banyak anggaran ke pendidikan formal, tetapi jam belajar hanya enam jam, sisanya mereka belajar di luar pendidikan informal itu yang dibutuhkan,” ucapnya.
Dia juga mengungkapkan bahwa salah satu penyebab tingginya anak putus sekolah karena beban kerja kewenangan pengelolaan sekolah. Pemerintah kabupaten/kota sudah mengelola tingkatan pendidikan PAUD, SD, dan SMP sederajat.
Ditambah kemudian dengan adanya PP Nomor 106 tentang Kewenangan dan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus, yang pengelolaan SMA sederajat diberikan kembali ke kabupaten/kota.
Dedaida meminta kepada para kepala daerah, provinsi maupun kabupaten/kota, untuk mendiskusikan persoalan ini secara matang dalam rapat kerja bupati/wali kota di Kabupaten Sorong, pekan ini.
“Pemerintah Provinsi Papua Barat harus selesaikan persoalan SMA/SMK dengan membutuhkan waktu beberapa tahun ke depan agar semuanya clear. Jangan Pemprov mewariskan persoalan SMA/SMK ini ke kabupaten/kota. Jangan sampai ketika Pj Gubernur menyerahkan P3D kepada kabupaten/kota saat ini justru memperburuk pendidikan di tanah Papua. Yang akan jadi korban anak-anak asli Papua yang juga anak-anak adat,” terangnya.
Menurutnya, penyerahan kewenangan pelaksanaan pendidikan SMA ke kabupaten/kota akan berpengaruh pada pengelolaan pendidikan TK, SD, dan SMP. “Justru administrasi SMA/SMK beberapa tahun ke depan saya pu anak-anak asli Papua akan jadi korban dalam soal perubahan aturan dan undang-undang,” ujarnya. (LP2/Red)